Musik dangdut dan konstruksi sosial
Hampir setiap hari saya mendengarkan musik. Dari berbagai genre dari berbagai zaman. Namun ada hal yang mengusik.
Mengapa saya nggak nyaman dengerin musik dangdut?
Padahal dangdut adalah musik khas Indonesia, Harusnya bagi saya tidak ada masalah. Kadang saya sampai berfikir apakah saya sebegitu gengsinya untuk mendengar musik jenis ini.
Lalu sampailah hari ini
Siang tadi saya makan di warung mie ayam. Tiba tiba mas mas penjual mie ayam memutar musik dangdut. Perasaan nggak nyaman pun muncul kembali.
Lalu saya sadar yang terbayang adalah suasana naik bis Rela. Rela adalah merek bis Solo Blora yang bagiku sangat menyebalkan. Dan apesnya ketika sma saya harus menggunakan bis ini tiap liburan. Ada bercandaan tentang buruknya perjalanan bis Rela, "naik Rela ya rela diapa apain".
Okay sebenernya nggak lucu juga sih.
Bisnya sudah tidak layak, seringkali terlalu penuh, kondisi jalan yang sampai terakhir saya ke Blora juga masih sama jeleknya, lalu yang terakhir alunan musik dangdut yang sama sekali tidak menghibur. Ditambah saya yang pada dasarnya memang mudah mual membuat saya acap kali bersumpah untuk tidak mau naik bis ini lagi untuk selama lamanya.
Ternyata musik dangdut itu mengingatkan akan trauma masa lalu yang membentuk penilaian saya terhadap sesuatu. Saya juga tersadar untuk tidak lagi menjudge selera orang lagi, karena seperti kasus saya, selera sepertinya bukan bawaan dari lahir. Selera adalah konstruksi sosial atas sesuatu yang asalnya dari pengalaman hidup tiap manusia selama hidup di dunia.
Comments
Post a Comment